Diberdayakan oleh Blogger.
مرحبا بكم في مدونتي

Teori Belajar Menurut Islam

Kemampuan untuk belajar merupakan sebuah karunia Allah yang mampu membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada manusia untuk mampu belajr dan menjadi pemimpin di dunia ini.


Pendapat yang mengatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yang tidak dapat dari kehidupan manusia, ternyata bukan berasal dari hasil renungan manusia semata. Ajaran agama sebagai pedoman hidup manusia juga menganjurkan manusia untuk selalu malakukan kegiatan belajar. Dalam AlQur’an, kata al-ilm dan turunannya berulang sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub dalam wahyu yang pertama turun kepada baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an memandang bahwa aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat berupa menyampaikan, menelaah,mencari, dan mengkaji, serta meniliti. Selain Al-Qur’an, Al Hadist juga banyak menerangkan tentang pentingnya menuntut ilmu. Misalnya hadist berikut ini;

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim; carilah ilmu walaupun di negeri cina; carilah ilmu sejak dalam buaian hingga ke liang lahat; para ulama itu pewaris Nabi; pada hari kiamat ditimbanglah tinta ulama dengan dara syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari ulama”


a. Arti Penting Belajar menurut Al-Qur’an
1. Bahwa orang yang belajar akan mendapatkan ilmu yang dapa digunakan untuk memecahkan segala masalah yang dihadapinya di kehidupan dunia.
2. Manusia dapat mengetahui dan memahami apa yang dilakukannya karena Allah sangat membenci orang yang tidak memiliki pengetahuan akan apayang dilakukannya karena setiap apa yang diperbuat akan dimintai pertanggungjawabannya.
3. Dengan ilmu yang dimilikinya, mampu mengangkat derajatnya di mata Allah.

b. Cara Belajar
1. Belajar melalui imitasi
Di awal perkembangannya, seorang bayi hanya mengikuti apa yang dilakukan ibunya dan orang-orang yang berada di dekatnya. Ketika dewasa, tingkat perkembangan manusia semakin kompleks meskipun meniru masih menjadi salah satu cara untuk belajar. Tetapi, sumber belajar itu tidak lagi berasal dari orang tua ataupun orang-orang yang berada di dekatnya melainkan orang-orang yang sudah mereka kenal misalnya, orang terkenal, penulis, ulama dan lain-lain.
Di dalam Islam, dapat ditemui juga hal yang demikian. Mari kita lihat sepasang saudara kembar, Qabil dan Habil. Banyak juga di dalam Al-Qur’an yang mencoba menerangkan tentang salah satu varian yang seperti demikian. Karena tabiat manusia yang cenderung untuk meniru, maka teladan yang baik merupakan sesuatu yang sangat penting dalam membentuk perilaku manusia.
2. Pengalaman Praktis dan trial and error.
Dalam hidup, manusia terkadang menghadapi situasi yang menuntutnya untuk cepat tanggap terhadapa permasalahan yang ada tanpa ada pembelajaran sebelumnya. Sehingga, manusia terkadang mencoba-coba segala cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.

3. Berfikir
Berfikir merupakan salah satu pilihan manusia untuk mencoba memperoleh informasi. Dengan berfikir, manusia dapat belajar dengan melakukan trial and error secara intelektual (Ustman Najati, 2005). Dalam proses berfikir, manusia sering menghadirkan beberapa macam solusi atas permasalah yang didapatkannya sebelum akhirnya mereka menjatuhkan pilihan pada satu solusi. Oleh karena itu, para psikolog mengatakan bahwa berfikir merupakan proses belajar yang paling tinggi.

Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan akal dan memahami dan merenungi segala ciptaan dan kebesaran Allah di alam ini. Antara lain seperti Q.S.Al-Ghasyiah : 17-20, Q.S.Qaf : 6-10, Q.S. Al-An’am: 95, Q.S. Al-Anbiya : 66-67. Selanjutnya, salah satu metode yang dapat memperjelas dan memahami sebuah pemikiran seseorang adalah dengan menggunakan diskusi, dialog, konsultasi dan berkomunikasi dengan orang lain (Utsman Najati, 2005). Hal senada juga pernah diungkapkan oleh salah satu Vygotsky, yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang akan berkembang apabila dia berinteraksi dengan orang lain, dengan demikian, belajar manusia dapat berkembang ketika kognitif mereka berkembang.

Ustman Najati menyatakan bahwa aktivitas berfikir manusia saat belajar tidak selalu menghasilkan pemikiran yang benar. Adakalanya kesalahan mewawrnai proses penetuan solusi atas masalah yang dihadapi. Dan dalam kondisi seperti ini, manusia sering mengalami hambatan dan berfikir statis dalam berpikir, dan tidak mau menerima pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran baru.

c. Sarana Belajar
1. Sarana Fisik
Terdapat dua panca indera manusia yang membantunya untuk melakukan kegiatan belajar yakni, mata dan telinga. Tidak bisa dipungkiri kedua panca indera ini menjadi sesuatu yang mutlak digunakan ketika belajar. Dua panca indera ini pula sering disebutkan dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, indra peraba, perasa, dan penciuman juga mampu memberikan kontribusi pada saat belajar.

2. Sarana Psikis
Akal dan qalb merupakan bagian dari saran psikis. Akal dapat diartikan sebagai daya pikir atau potensi intelegensi (Bastaman, 1997). Akal identik dengan daya pikir otak yang mengantarkannya pada pemikiran yang logis dan rasional. Sedangkan qalb mempunyai dua arti, yakni fisik dan metafisik. Qalbu dalam arti fisik adalah jantung dan dana dalam arti metafisik adalah karunia Tuhan yang halus yang bersifat rohaniah dan ketuhanan yang ada hubungannya dengan jantung.

2. Konsep Belajar menurut Tokoh-Tokoh Islam
1. Al-Ghazali
Dalam pemahaman beliau, seorang filsuf pendidikan di kalangan Islam, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani. Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan hal yang lazim dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat indrawi yang diakui oleh orang yang berakal.
Menurut Al Ghazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Dalam proses ini, anak didik akan mengalami proses mengetahui yaitu proses abstraksi. Al Ghazali kemudian membagi abstraksi ini menjadi empat tahap, yakni terjadi pada indra, terjadi pada al-khayal .

2. Al-Zarnuji
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.

Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.